Konten [Tampil]
Mendaki Gunung Sindoro merupakan pengalaman pendakian gunung pertamaku. Pengalaman yang mungkin akan selalu menjadi cerita yang menyenangkan. Walaupun awal bergabung di sispala agar bisa bermain arum jeram, nyatanya aku terjebak di pendakian sebagai syarat untuk menjadi anggota. Membuatku tak menyesal memilih ekskul percinta alam.
Awal aku bergabung, pendakian gunung belum setenar sekarang. Masih jadi hal yang jarang dilakukan oleh banyak orang. Bahkan menjadi hal yang cukup menakutkan untuk beberapa orang, takut bertemu makhluk astral, bertemu binatan buas, dan lain sebagainya. Tetapi semua cukup berubah sejak film 5 cm, membuat orang berbondong-bondong mendaki gunung bahkan tanpa memiliki ilmu sama sekali. Membuat banyak kejadian yang tak diinginkan hingga merenggut nyawa ketika dalam pendakian.
Sekilas tentang Gunung Sindoro
Gunung Sindoro dikenal sebagai gunung kembar karena berdampingan dengan Gunung Sumbing. Walaupun memiliki ketinggian yang berbeda yaitu Gunung Sindoro (3.155 m dpl) memiliki ketinggian yang lebih rendah daripada Gunung Sumbing (3.340 m.dpl) tetapi keduanya memiliki bentuk yang hampir sama. Jika dilihat pada peta, Gunung Sindoro terletak di barat laut Temanggung dan timur laut Wonosobo, sedangkan Gunung Sumbing terletak di barat daya Temanggung dan timur Wonosobo.
Mendaki Gunung Sindoro Jalur Tambi
Kebanyakan pendaki Gunung Sindoro akan memilih jalur kledung karena merupakan jalur yang cukup terkenal. Padahal Gunung Sindoro memiliki beberapa jalur pendakian lain seperti perkebunan teh tambi atau yang dikenal jalur sigedang dan bansari.
Jalur perkebunan tambi termasuk jalur yang cukup terjal tetapi memiliki waktu pendakian yang cukup pendek dan tidak terlalu ramai pendaki. Ketika awal perjalanan, sepanjang mata memandang akan melihat perkebunan teh. Seolah kita sedang dalam petualangan Sherina.
Pendakian dimulai ketika matahari ada di atas kepala. Setelah melaporkan jumlah pendaki dan nama pendaki kepada petugas di desa terakhir, pendakian pun dimulai dengan melewati perkebunan teh dan jalan tanah yang masih cukup datar.
Kemiringan tanah yang belum terlalu signifikan membuat perjalanan masih menyenangkan dan tidak terasa begitu lelah mendaki. Walaupun matahari sedang bersinar teriknya seolah berada tepat diatas kepala setiap pendaki.
Banyaknya daerah yang datar pun masih cukup mudah untuk menemukan tempat beristirahat setiap kaki cukup lama melangkah. Ataupun menemukan bangunan-bangunan yang digunakan oleh pekerja kebuh teh ketika panen.
Sehabis kebun teh dilewati maka perjalanan akan mulai melewati jalan yang cukup terjal dan menghabiskan banyak tenaga. Hanya semak belukar yang terlihat dan langkah kaki pun harus cukup lebar dibuka agar mampu naik ke setiap tangga tanah dan batu yang tak beraturan. Wajah-wajah yang awalnya masih bisa membentuk lengkung senyuman dan bercelote ria berubah menjadi wajah yang terus menatap kesetiap langkah kaki agar tidak terjatuh.
Seruan semangat dari para senior pendamping pun hanya menjadi angin lalu, seolah setiap beberapa langkah kaki ini, ingin segera menemukan tempat yang cukup landai untuk sekedar melemaskan otot-otot kaki. Nyatanya sangat jarang menemukan tempat yang cocok seperti itu, jikapun ada kita harus mengalah bergantian untuk beristirahat karena tempat yang terbatas dan tidak cukup untuk jumlah kami yang cukup banyak.
Matahari mulai beranjak pergi dan digantikan oleh gelapnya malam. Tetapi perjalanan kami masih cukup panjang. Masih terus berjalan untuk menuju titik yang ditentukan untuk membuat kemah. Badan yang mulai kelelahan, pandangan mata yang mulai terbatas, semakin membuat perjalanan ini terasa bergitu panjang. Bahkan teriakan "satu belokan lagi sampai" tak lagi membuat kami mampu berjalan dan memutuskan beristirahat di sembarang tempat.
Tenaga belum pulih sepenuhnya ketika matahari mulai menampakkan dirinya, bahkan dinginnya udara yang berhembus masih sangat terasa, membuat badan enggan untuk bergerak. Tetapi mau tak mau harus memaksakan diri untuk kembali mendaki hingga menuju puncak gunung.
Rasa lelah dan dingin terbayarkan ketika melihat banyaknya bunga edelweis mekar di pucak gunung sindoro. Seolah memanjakan mata dengan pemandangan yang cukup menakjubkan. Karya Sang Pencipta memang tak pernah salah dan tak bisa ditiru begitu saja oleh manusia.
Puncak Gunung Sindoro cukup landai bahkan bisa dijadikan lapangan bola. Menemukan tempat landai yang cukup luas, membuat kita bisa puas untuk meluruskan otot-otot kaki dan rebahan sejenak untuk sedikit menghilangkan lelah berjalan sehari semalam.
Perjalanan belum selesai, karena masih harus melangkahkan kaki untuk turun gunung. Waktu yang dibutuhkan memang lebih cepat dibandingkan saat mendaki. Tenaga yang digunakan pun cenderung terasa lebih sedikit yang dibutuhkan. Bahkan beberapa temanku berlari ketika turun gunung, tetapi aku tetap berjalan pelan mencoba menyeimbangkan badan dan beban yang dibawa agar tidak salah pinjakan. Salah-salah bisa tergelincir dan jatuh. Jika hal tersebut terjadi, kami akan tertawa terlebih dahulu sebelum akhirnya memberi pertolongan dan memberitahukan agar lebih berhati-hati.
Beberapa kali ketika di padang rumput yang tidak begitu curam, aku dan teman-temanku berseluncur seolah sedang berada di perosotan yang sangat panjang. Walaupun sudah diperingatkan oleh senior agar berjalan saja takut nanti membuat celana dan tas robek, kami tidak peduli. Terkadang memang pantat ini bertemu dengan bebatuan kecil, tapi rasanya menyenangkan bisa turun tanpa melangkahkan kaki.
Matahari masih menampakkan wujudnya ketika kami sampai diperkebunan teh. Masih adanya beberapa teman yang tertinggal karena kekuatan fisik yang berbeda. Maka kami memutuskan untuk menunggu di bangunan yang ada di perkebunan teh. Sembari mengumpulkan tenaga dan juga mengisi perut yang kelaparan. Menjelang malam kami pun melanjutkan perjalanan pulang dan membawa cerita yang tak akan pernah dilupakan.
Cerita yang Disimpan Gunung Sindoro
Kebanyakan orang percaya jika gunung menyimpan banyak cerita mistis yang sering kali diceritakan oleh para pendaki. Tak begitu banyak cerita yang aku tau tentang Gunung Sindoro. Tapi ada satu kisah yang pernah dialami temanku ketika melakukan pendakian hanya 5 orang saja.
Pendakian Gunung Sindoro melalui jalur tambi cukup sepi menurutku atau malah terlalu sepi. Ketika melakukan pendakian itu pun aku hanya bertemu satu rombongan pendaki lain yang turun. Setelahnya tak lagi bertemu dengan pendaki lain, hanya para pekerja kebun teh yang bolak-balik menggunakan mobil pick up.
Tiga temanku yang melakukan pendakian susulan dilain waktu dengan didampingi oleh dua senior sempat mengalami hal yang tidak mengenakan. Memang pepatah dimana bumi dipijak langit dijunjung itu benar adanya. Mungkin ketika ditempat lain kita bebas berkata kasar, tapi jangan melakukannya ditempat asing yang menurut kita mungkin tak ada penghuninya.
Ketika itu dilakukan maka entah dengan cara apa, para penunggu yang tak kasat mata itu membuat temanku hanya berkeliling-keliling di suatu tempat. Bahkan teriakan mereka tidak terdengar oleh senior yang mendampingi. Sempat merasa putus asa, hingga akhirnya memutuskan untuk berhenti dan berdoa agar bisa pulang dengan selamat. Tak lupa juga untuk meminta maaf atas perbuatan yang dilakukan.
Pada akhirnya, ketiga temanku pun bisa kembali melanjutkan pejalanan turun gunung dan bertemu dengan senior pendamping. Tak lupa membawa cerita tersebut sebagai pelajaran bagi kami yang kadang kala lupa untuk menjaga sikap ketika mendatangi tempat yang asing bagi manusia.
Tips Mendaki Gunung di Era New Normal
Pendakian gunung menjadi cara untuk melepas penat dari rutinitas para pelajar hingga pekerja kantoran. Apalagi di era new normal banyak yang memilih mendaki gunung dengan dalih liburan yang meminimalisir bertemu orang. Tapi ada beberapa hal yang harus diperhatikan ketika akan mendaki gunung di era new normal ini.
1. Informasi tentang Pendakian
Di era new normal, kapasitas pendaki gunung sangat dibatasi. Bahkan lama pendakian pun diatur. Jika tak mengikuti aturan tersebut bisa membuat nama kita ada di daftar blacklist. Sehingga perlu mencari tentang info pendakian di era new normal. Apakah jalur dibuka dan kapan waktu-waktu dimana jumlah pendaki membludak. Untuk menentukan kapan waktu yang baik untuk mendaki di era new normal.
2. Seluk Beluk Gunung
Penting untuk mencari tau tentang sejarah ataupun mitos gunung yang akan didaki. Dengan begitu maka kita akan lebih menghargai dan menjaga sikap. Perlu juga memahami tentang jalur pendakian yang akan dilewati agar tak mudah tersesat dan memiliki gambaran waktu pendakian. Selain itu, mengetahui lokasi-lokasi yang bisa digunakan untuk berkemah di malam hari.
3. Persiapan Fisik
Banyak pendaki yang abai dengan persiapan fisik sebelum pendakian. Merasa memiliki badan yang cukup kuat untuk melakukan perjalanan yang cukup berat. Perlu adanya persiapan fisik yang cukup seperti lari, shit up, push up, dan lainnya. Selain itu, cek juga kesehatan di fasilitas kesehatan agar mengetahui kondisi hemoglobin kita.
4. Menerapkan Protokol Kesehatan
Walaupun berada di alam terbuka, tetap penting menerapkan protokol kesehatan seperti memakai masker, menjaga jarak, membawa handsanitizer ataupun tisu basah. Memakai masker ketika mendaki gunung dapat mencegah hidung merah seperti tomat akibat kedinginan dan akan mengelupas ketika selesai mendaki gunung. Penggunaan tisu basah pun harus diperhatikan agar tidak meninggalkan jejak sampah.
Jadi gimana nih? Tertarik mencoba mendaki Gunung Sindoro via Perkebunan Teh Tambi? Atau akan menjadikannya tujuan melepas lelah di era new normal ini?
Seru banget. Aku udah lama nggak muncak, jadi ingat masa-masa STM. 😂
BalasHapusItu udah agak lama si mba, aku cari yang banyak foto dan informasi. Kalau pergi wisata jarang banget foto-foto hehe
HapusAku dari dulu ndak pernah jadi buat mendaki gunung,,
BalasHapusseringnya main ke bukit aja hehehe
Nggak papa mba, masih sebelas dua belas kok
HapusWah seru banget mbak pengalamannya, pengen rasanya ngedaki. Melihat dari foto fotonya kelihatan seru. nantilah jika nanti sudah libur kuliah akan dicoba agendakan. Terima kasih pengalamannya mbak.
BalasHapusLayak dicoba mas, lumayan buat pengalaman dan cerita nanti.
HapusSip mbak nanti saya agendakan lah untuk ngedaki.
Hapushebat mbaaak, aku belum pernah berani hiking. kebayang sama aku bakal cape banget gitu hehehe
BalasHapusIya lumayan cape mba, biasanya butuh sehari buat istirahat hehe
HapusPadahal saya tinggal di bawah kaki gunung gede, tapi belum sekalipun pernah muncak. Jadi kepingin nih setelah baca artikel kak Zakia, kayanya menarik banget
BalasHapusIya pak, apalagi kalau sama anak kecil biasanya pada seneng banget diajak naik gunung atau bukit gitu. Sekalian ngecamp
HapusSerunya. Salah satu petualangan yang belum pernah ku jajal adalah mendaki gunung. Pernah ke Bromo doang.
BalasHapusMungkin kapan-kapan bisa dicoba mba :)
HapusWah seru ya mendaki rame-rame. Jadi pengen juga 😁
BalasHapusAyo mbak, direncanakan naik kemana gitu :)
HapusWah, terakhir daki tahun 2016, baca artikel ini jadi pengen daki lagi heuheu
BalasHapusAku terakhir tahun lalu mba, sebelum corona menyerang
HapusWaaah kangeen hiking dan ngecamp bareng temen temen
BalasHapusAku nulis ini juga karena kangen mba hehe
HapusWaahh asyikk banget ini :)
BalasHapusJadi pengen ikutan mendaki juga, wlpn rada2 penakut juga ini :D
Aku juga termasuk penakut mba, cuma pas di gunung yang berasa cuma capenya hehe
HapusAku belum pernah naik gunung... Tapi kayaknya aku ga kan kuaattt, tapi kalau liat pemandangan diatas sana duuh kok pengen yah, gimanaa donk
BalasHapusCari gunung yang gak tinggi dulu aja mba atau bukit gitu biasanya pemandangannya juga bagus kok :)
HapusBenar mba, sejak film 5cm ditayangkan, makin banyak yang tertarik mau nyoba mendaki ke gunung.
BalasHapusWalaupun saya tetap gak berani untuk mencoba ny 😅
Iya mba, aku juga merasakan perbedaan sejak film 5cm tayang. Naik gunung berasa kaya piknik gitu, rame banget hehe
HapusSeru banget cerita pendakiannya mba. Aku udah lama banget pengen coba mendaki gunung mba. Tapi belum kesampaian sampai sekarang.
BalasHapus